Akhir tahun kemaren gw liburan ke beberapa tempat di sekitar Danau Toba bareng keluarga gw. Waktu paling banyak kami habiskan di Pulau Samosir. Keluarga gw adalah keluarga Batak Toba yang leluhurnya berasal dari Pulau Samosir ini. Banyak nama daerah di Pulau Samosir dan beberapa daerah lain di Kabupaten Toba dan Tapanuli Utara sama dengan beberapa marga-marga dalam Batak Toba, karena memang dari sanalah kami berasal. Salah satu tempat yang gw lewatin adalah sebuah desa di Pulau Samosir bernama Limbong.
Waktu lewat Limbong, emak gw bilang, "Ini namanya Limbong." Yang langsung terlintas di kepala gw waktu itu adalah Pak Limbong, dosen pembimbing skripsi gw. Pengen rasanya waktu itu gw minta berhenti sebentar di sana dan mencari makam dosen gw, karena gw ingat waktu dosen gw wafat sekitar 2 tahun yang lalu, keluarganya bilang beliau dimakamkan di Limbong bersama istrinya yang sudah dimakamkan terlebih dulu di sana dan leluhurnya.
Setelah melewati Limbong kami melewati beberapa daerah lagi di Samosir hingga tiba di sebuah daerah bernama Palipi, lalu Mogang dan terakhir Urat. Ketiga tempat ini mengingatkan gw sama ayah gw. Waktu masih kecil, gw sekeluarga bisa hampir tiap tahun mudik ke Urat, yang merupakan kampung halaman ayah gw, beliau lahir dan besar di sana. Dan seketika gw ingat sama semua cerita ayah, kalau dulu lokasi sekolahnya waktu SD di Mogang dan SMP di Palipi. Jarak kedua tempat itu cukup jauh dari Urat menurut gw, dan ayah bilang, setiap hari dia berjalan kaki ke sekolah.
Ketika tiba di Urat, kami segera menuju rumah opung gw, yang jaraknya jauh sekali dari jalan utama. Untuk menggambarkan seberapa jauhnya, gw bisa deskripsikan dengan lagu Ninja Hatori dalam kenyataan: "mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah....." Gw serius, ngga bercanda sama sekali. Untuk bisa sampe ke rumah opung gw itu, dulu kami harus jalan kaki, naik turun 2 bukit, lewatin lembah dengan sungai yang mengalir indah, begitu menuruni bukit kedua, barulah rumah opung gw keliatan. Dulu sih seingat gw, bisa sejam lebih itu jalan kakinya, tapi kalo kemaren gw liat jalannya udah ada sampai ke puncak bukit kedua, jadi kita bisa naik mobil sampai situ lalu jalan kaki sekitar 10 menit lagi untuk sampai di rumah opung.
Dulu sih waktu gw masih kecil, gw ngga begitu mikirin capenya perjalanan itu, mungkin karna gw anak kota yang senang liat sawah sama padang yang luas, atau mungkin karna gw lagi liburan jadi ya bawaannya senang aja gitu. Sekarang baru gw mikir, itu jauh banget, dan gw ngga paham gimana dulu ayah gw tiap hari jalan kaki ke sekolah ngelewatin itu semua.
Gw sih ngga tau detail persis gimana kehidupan Pak Limbong dulu waktu sekolah. Yang gw tau, beliau juga lahir dan besar di Limbong, lalu kuliah di Bogor hingga program doktoral dan menjadi profesor dan Guru Besar di IPB. Gw juga ngga terlalu tau gimana jalanan di Limbong, gimana kehidupan anak sekolah di sana. Cuma sepengamatan gw sih, kayaknya di sana juga ngga ada sekolah, jadi mereka juga harus jalan kaki cukup jauh biar bisa sekolah.
Apa yang gw lihat dalam ayah gw dan pak Limbong ini adalah latar belakang yang sama, pria Batak yang hidup keras untuk bisa sekolah di daerah pelosok, lalu pendidikan yang lebih tinggi di kota besar. Gw ingat pernah baca biografi pak Limbong pas acara purna bakti beliau 7 tahun yang lalu. Perjuangannya untuk bisa jadi profesor dan Guru Besar di kampus sekelas IPB itu bukan sesuatu yang mudah. Ayah gw memang hanya PNS biasa, tapi gw ingat betapa beliau ingin bisa mendapatkan posisi impiannya, sampe kudu kerja sambil kuliah biar bisa naik golongan, padahal udah berkeluarga dengan 3 anak yang udah pada sekolah juga.
Cuma pak Limbong hidup lebih lama dari ayah gw. Pak Limbong hidup hingga mencapai purna bakti di kampus dan anaknya udah lulus kuliah semua. Sedangkan ayah gw, akhirnya bisa mencapai tingkat eselon di tempat yang lama beliau inginkan, tapi beberapa bulan setelah beliau mendapatkannya, beliau pergi dan anak-anaknya bahkan belum ada yang lulus SMA.
Ayah gw dan pak Limbong adalah tipikal pria Batak kebanyakan, berkemauan keras, pekerja keras dan berwatak keras juga karena hidup menempa mereka dengan keras, tapi di balik itu, mereka adalah family guy, yang ngga bisa jauh dari keluarga dan sangat sayang sama keluarganya, mereka adalah pria yang tegas dengan keluarganya sendiri tapi penuh kasih sayang dan lembut sekali.
Gw bertemu pak Limbong sekitar 4 tahun setelah ayah gw pergi. Dan setiap gw bertemu beliau untuk bimbingan, gw seperti memutar ulang rekaman nasihat ayah gw waktu masih kecil, kata-kata dan intonasinya mirip sekali. Itulah kenapa gw sedih sekali ketika dengar kabar beliau meninggal.
Sekarang orang yang menurut gw karakternya mirip dengan ayah gw dan pak Limbong adalah Ahok, gubernur DKI Jakarta saat ini. Gw emang ngga kenal dekat dengan beliau, dan cuma pernah ketemu sekali doang. Tapi yang gw lihat dari jauh ada kesamaan di antara mereka. Tegas untuk sebuah kebenaran dan kebaikan, marah untuk sesuatu yang salah dan buruk, lemah lembut untuk mereka yang susah dan butuh pertolongan, baik sama siapa pun dan takut akan Tuhan. Mereka layak dijadikan role model.
Well, lo tau apa yang gw pikirin sekarang? Gw berdoa agar ada lebih banyak orang seperti itu di bumi ini agar dunia ini menjadi lebih indah, damai dan tenang. Gw juga berdoa agar Tuhan menyisihkan 1 saja pria single berkarakter seperti itu untuk jadi suami gw, yang bakal jadi pemimpin gw, yang bisa gw jadikan panutan, yang bisa jadi role model untuk anak-anak gw kelak. Amin
No comments:
Post a Comment