Untuk masakan Jepang, kita tahu bahwa ikan salmon akan lebih enak untuk dinikmati jika ikan tersebut masih dalam keadaan hidup saat hendak diolah untuk disajikan. Jauh lebih nikmat dibandingkan dgn ikan salmon yg sdh diawetkan dengan es.
Itu sebabnya para nelayan selalu memasukkan salmon tangkapannya ke suatu kolam buatan agar dalam perjalanan menuju daratan salmon-salmon tersebut tetap hidup. Meski demikian pada kenyataannya banyak salmon yg mati di kolam buatan tersebut.
Bagaimana cara mereka menyiasatinya? Para nelayan itu memasukkan seekor hiu kecil di kolam tersebut. Ajaib! Hiu kecil tersebut "memaksa" salmon2 itu terus bergerak agar jangan sampai dimangsa.
Akibatnya jumlah salmon yang mati justru menjadi sangat sedikit.
Diam membuat kita mati!
Bergerak membuat kita hidup!
Apa yang membuat kita diam?
Saat tidak ada masalah dalam hidup dan saat kita berada dlm zona nyaman.
Situasi seperti ini kerap membuat kita terlena. Begitu terlenanya sehingga kita tdk sadar bahwa kita telah mati! Ironis bukan?
Apa yg membuat kita bergerak?
Masalah. Pergumulan. Dan tekanan hidup.
Saat masalah datang secara otomatis naluri kita membuat kita bergerak aktif dan berusaha mengatasi semua pergumulan hidup itu.
Di saat saat seperti itu biasanya kita akan ingat Tuhan dan berharap kepada Tuhan.
Tidak hanya itu, kita menjadi kreatif dan potensi diri kitapun menjadi berkembang luar biasa.
Ingatlah bahwa kita akan bisa belajar banyak dalam hidup ini bukan pada saat keadaan nyaman, tapi justru pada saat kita menghadapi badai hidup.
Itu sebabnya syukurilah "hiu kecil" yang terus memaksa kita utk bergerak dan tetap survive.
Masalah hidup adalah baik, karena itulah yg membuat kita terus bergerak.
Thursday, January 12, 2012
Sunday, January 8, 2012
Ceritanya
Dia.
Ya, dia. Siapa pun dia, hanya dia yang bisa seperti itu.
Sorotan matanya, senyumnya, tawanya, celotehannya.
Aku suka!
Di duniaku hanya ada satu dia.
Yang selalu bisa menghapus air mataku dan menghias wajahku dengan senyuman.
Begitulah dia.
Ada tempat spesial di hatiku yang hanya bisa ditempati olehnya. Selain dia, tak ada manusia lain yang bisa masuk ke tempat itu.
Menatapnya, aku seperti menemukan apa yang disebut rumah.
Dan aku bersyukur Tuhan mengirimkannya kepadaku.
Untuk dia.
Terima kasih selalu ada di sana ketika aku membutuhkan.
Ya, dia. Siapa pun dia, hanya dia yang bisa seperti itu.
Sorotan matanya, senyumnya, tawanya, celotehannya.
Aku suka!
Di duniaku hanya ada satu dia.
Yang selalu bisa menghapus air mataku dan menghias wajahku dengan senyuman.
Begitulah dia.
Ada tempat spesial di hatiku yang hanya bisa ditempati olehnya. Selain dia, tak ada manusia lain yang bisa masuk ke tempat itu.
Menatapnya, aku seperti menemukan apa yang disebut rumah.
Dan aku bersyukur Tuhan mengirimkannya kepadaku.
Untuk dia.
Terima kasih selalu ada di sana ketika aku membutuhkan.
Saturday, January 7, 2012
Pendakian
Aku seperti sedang memanjat sesuatu.
Mungkin ini adalah gunung es. Mungkin bukit berbatu, atau tebing terjal, atau hanya tembok biasa?
Entahlah. Tapi saat aku melihat ke atas, aku tahu, itu tinggi sekali.
Dan rasa-rasanya perjalananku menuju puncaknya masih cukup jauh.
Aku tak bisa mengira, kapan aku akan tiba di atas sana.
Yang bisa aku lakukan sekarang hanya terus memanjat.
Seketika aku melihat ke bawah.
Aku tersadar, seperti ada yang berbisik di telingaku: "Hei, bukankah kau takut akan ketinggian?"
Mendadak aku panik. Ya, aku takut ketinggian, aku takut terjatuh!
Lalu, apakah aku akan tiba di puncaknya? Bagaimana aku bisa tiba di atas sana?
Aku terdiam sejenak, aku tutup mataku.
Pelan-pelan aku menggerakkan kelopak mataku dan melihat sekelilingku.
Aku sudah memanjat sejauh ini, masakan aku harus turun lagi.
Sejenak aku lihat pemandangan di bawah sana dengan tenang. Ternyata cukup indah.
Ah, di atas sana pasti akan lebih indah lagi.
Lalu perlahan-lahan aku terus melangkah naik.
Aku tak tahu kapan aku akan tiba di atas sana, tapi keyakinanku untuk melihat keindahan membulatkan tekadku untuk terus mendaki.
Mungkin ini adalah gunung es. Mungkin bukit berbatu, atau tebing terjal, atau hanya tembok biasa?
Entahlah. Tapi saat aku melihat ke atas, aku tahu, itu tinggi sekali.
Dan rasa-rasanya perjalananku menuju puncaknya masih cukup jauh.
Aku tak bisa mengira, kapan aku akan tiba di atas sana.
Yang bisa aku lakukan sekarang hanya terus memanjat.
Seketika aku melihat ke bawah.
Aku tersadar, seperti ada yang berbisik di telingaku: "Hei, bukankah kau takut akan ketinggian?"
Mendadak aku panik. Ya, aku takut ketinggian, aku takut terjatuh!
Lalu, apakah aku akan tiba di puncaknya? Bagaimana aku bisa tiba di atas sana?
Aku terdiam sejenak, aku tutup mataku.
Pelan-pelan aku menggerakkan kelopak mataku dan melihat sekelilingku.
Aku sudah memanjat sejauh ini, masakan aku harus turun lagi.
Sejenak aku lihat pemandangan di bawah sana dengan tenang. Ternyata cukup indah.
Ah, di atas sana pasti akan lebih indah lagi.
Lalu perlahan-lahan aku terus melangkah naik.
Aku tak tahu kapan aku akan tiba di atas sana, tapi keyakinanku untuk melihat keindahan membulatkan tekadku untuk terus mendaki.
Subscribe to:
Posts (Atom)