Beberapa waktu belakangan ini, media di Indonesia dipanaskan dengan
berita bahwa Malaysia mengklaim tarian Tor-tor yang asli dari Indonesia
sebagai budaya miliknya. Tor-tor sendiri adalah tarian tradisional
Indonesia yang berasal dari Sumatera Utara. Tepatnya, tarian Tor-tor ini
adalah milik suku Batak. Jadi sebagai orang Batak, jelas saya agak
tersinggung dengan pemberitaan tersebut. Tapi di posting ini saya tidak
akan membahas hal tersebut, saya hanya akan bercerita tentang hidup saya
sebagai orang Batak.
Saya adalah suku Batak asli, tepatnya
subsuku Batak Toba dari Pulau Samosir. Saya lahir di Salak, sebuah kota
kecil di Pak-pak Barat (daerah subsuku Batak Pak-pak), dan saya besar di
kota Medan. Memang seumur hidup saya hanya beberapa kali mengunjungi
Pulau Samosir, yang merupakan tempat kelahiran ayah saya, tapi saya tak
pernah lupa akan identitas saya sebagai orang Batak. Jadi sekalipun saya
pergi jauh meninggalkan tanah Batak, nilai-nilai kehidupan orang Batak
tak pernah saya lupakan.
Hal tersebut adalah karena didikan ayah
saya. Saya masih ingat ketika dia memperlihatkan sehelai kertas yg cukup
luas di atas meja. Isi kertas itu adalah silsilah orang Batak. Waktu
itu ayah menjelaskan kepada saya, terutama pada kakak laki-laki saya,
tentang garis keturunan keluarga kami, kami keturunan nomor berapa, dan
sebagainya.
Jadi di Sumatera Utara itu ada 3 suku besar, yaitu
Melayu, Batak & Nias. Suku Batak terdiri dari 6 subsuku, yaitu Toba,
Mandailing, Simalungun, Karo, Angkola & Pak-pak. Setiap subsuku itu
punya masing-masing dialek, kain tradisional, baju adat, rumah adat
yang berbeda. Pembagian marganya pun berbeda, ada marga yang adalah
sama, sehingga keturunannya tidak boleh saling menikahi. Misalnya marga
ibu saya adalah Pasaribu, sama dengan marga Malau, Lubis, Sipahutar dan
sebagainya. Lalu ada marga yang 'disamakan' dari masing-masing subsuku
tersebut. Misalnya, saya bermarga Sinaga, itu sama dengan marga
Perangin-angin atau Bangun di Batak Karo.
Soal bahasa, sejujurnya
saya tidak terlalu bisa berbahasa Batak. Apalagi ketika saya berada di
Jawa Tengah selama 2 tahun, saya benar harus bercampur dengan orang Jawa
asli. Tapi saya cukup bisa membedakan bahasa tiap subsuku, dan bisa
menangkap maksud pembicaraan orang dalam bahasa Batak. Hal ini juga
tidak terlepas dari didikan ayah saya. Ya, walaupun waktu di rumah kami
lebih banyak berbahasa Indonesia, tapi ketika kami berkumpul di malam
hari, ayah tak lupa mengajarkan bahasa Batak kepada kami, dengan
mengartikan lagu-lagu berbahasa Batak ke bahasa Indonesia.
Tentang
tarian tradisional, yaitu Tor-tor, saya lebih banyak diajarkan oleh
saudara-saudara saya. Saya memang tidak mahir dalam menari Tor-tor, tapi
karena sering dipraktekkan, pelan-pelan saya belajar menarikan Tor-tor.
Karena orang Batak selalu menarikan Tor-tor ini di semua acara adatnya.
Mulai dari pernikahan, syukuran bahkan hingga upacara kematian. Dan tak
lupa menggunakan kain tradisional, yaitu Ulos, dengan diiringin musik
khas Batak dari Gondang.
Suku Batak membawa sistem patrilineal,
dimana keturunan adalah dari pihak laki-laki. Tapi perempuan sangat
dihormati dalam adat Batak. Dalam adat Batak, keluarga ibu kita sangat
dihormati, begitu juga keluarga nenek, dan keluarga istri. Karena itu
perempuan sering disebut 'boru ni raja' yang artinya adalah putri raja.
Dan ayah saya sering memanggil saya demikian.
Sebagai penutup,
saya tak akan pernah lupa kata-kata ayah saya ini, "Banggalah jadi orang
Batak, karena suku Batak adalah suku yang kaya akan adat & budaya,
tak ada suku lain di dunia yang seperti suku Batak." Dan dengan ini saya
sampaikan, nama saya Sonti boru Sinaga, saya orang Batak Toba asli dan
saya bangga jadi orang Batak!
No comments:
Post a Comment