Friday, August 24, 2012

Kapan Nikah

"Gw yang ogah kawin, kok elo yang rese?!"
'Quote' di atas gw ambil dari tag line sebuah novel karya Christian Simamora. Di umur gw yg udah layak nikah ini emang pertanyaan sesuai judul post ini sering terlontar ke telinga gw. Biasanya klo 'diteror' dengan pertanyaan begitu gw akan menjawab: "segera" atau "as soon as possible" atau "sesuai waktu Tuhan". Lalu yg bertanya akan membalas lagi: "jangan lama-lama, tar ketuaan, nyeseal lho". Dan gw hanya tersenyum mendengar komentar seperti itu, sambil berkata dalam hati seperti tulisan Christian Simamora di atas.


Sebenarnya bukan ogah kawin. I'm a normal woman, sama seperti wanita normal lainnya yang sejak kecil mengimpikan pernikahan, and so do I! Gw selalu bermimpi bisa berjalan menuju altar gereja bersama lelaki yang paling gw cintai untuk diberkati ke dalam pernikahan kudus, lalu bersanding di pelaminan. Cuma saja, gw ga terlalu suka didesak-desak untuk menikah. Dan gw punya alasan untuk itu. Ya, umur gw emang udah layak menikah. Tapi gw ga mau terburu-buru menikah. Karena buat gw, pernikahan itu adalah sesuatu yang kompleks, dan gw harus mempersiapkan diri untuk itu. Gw ngga mau menikah hanya karena alasan umur. Buat gw lebih baik menikah lebih lama tapi dengan orang yang tepat daripada cepat menikah tapi dengan orang yang salah. Klo cuma mau sekedar nikah, gampang aja, tinggal tarik aja laki-laki mana yang mau. Cuma kan ngga bisa murahan gitu juga kan..?

Emang sebagai wanita gw didesak umur karena masalah reproduksi. Tapi pernikahan bukan hanya soal anak. Semua masalah ngga akan selesai dengan menikah, malah makin ribet, tar ada suami, rumah, kerjaan juga trus keluarga, tetangga, kelompok sosial trus anak dan seterusnya.

Klo kita bikin itung-itungannya nih.. Misalnya kita menikah di umur 25 tahun dan meninggal di umur 50 tahun, itu artinya kita menghabiskan setengah dari hidup kita dengan pasangan hidup kita. Yang setengah hidup lagi kan kita ga bisa nentuin siapa orang tua & saudara-saudara kita, sedangkan untuk pasangan hidup kita masih bisa memilih. Jadi jangan asal pilih. Klo dibilang terlalu pemilih ya emang harus begitu. Beli baju yang dipake sekarang terus tahun depan udah rusak aja kita bisa milih banget sampe rela muter-muter beberapa toko bahkan mall, apalagi pasangan hidup. Bukannya sok jual mahal, tapi emang mahal. Hehehehe..

Lagian gw masih pengen nikmatin hidup tanpa ikatan. Gw masih pengen bisa pergi ke sana dan ke mari tanpa terikat oleh pasangan, apalagi anak. Gw bukannya ngga suka sama anak-anak. Gw penyuka anak-anak, tapi untuk saat ini gw lebih suka travelling daripada anak-anak. Yeah, I'm single and free!

Hidup gerakan "Indonesia-tanpa-Kapan-Nikah?"

Thursday, August 16, 2012

I Love You, Pooh!

Klo lo buka page blog gw ini di PC, maka lo bakal liat ada gambar-gambar Winnie The Pooh di sebelah kanan. Gw emang sengaja milih widget itu untuk menghias blog gw. Alasan gw milih Winnie The Pooh tiada lain dan tiada bukan karna gw emang suka bgt ama karakter kartun keluaran Disney itu.

Gw mulai menggemari Winnie The Pooh sejak gw masih kelas 6 SD, kira-kira itu 15 tahun yang lalu. Awalnya agak lucu. Ceritanya waktu itu ada banyak pedagang boneka yang menjual berbagai jenis boneka di beberapa ruas jalan raya. Adek gw pengen banget punya salah satu boneka itu, tapi dia diam aja, ngga ngomong ke siapa pun soal itu. Sampe akhirnya dia demam. Nyokap gw bingung, kenapa tu anak tiba-tiba sakit sampe berapa hari ngga sembuh-sembuh. Setelah ketauan dia pengen punya boneka, akhirnya ayah gw beliin boneka itu, dan adek gw langsung sembuh. Boneka yang dibeliin itu adalah boneka Winnie The Pooh, boneka yang paling banyak dipajang oleh pedagang-pedagang itu.

Bonekanya cukup gede klo dibanding sama badan gw & adek gw waktu itu. Jadi adek gw jarang banget mainin boneka Winnie The Pooh itu saking gedenya. Malah gw yang jadi senang mainin boneka itu, padahal dari kecil gw lebih suka main boneka Barbie, sedangkan adek gw cenderung suka boneka hewan kayak Teddy Bear. Sejak itulah gw jadi kecanduan sama segala sesuatu yang berbau Winnie The Pooh.

Ada yang bilang karakter Winnie The Pooh itu kayak orang bego. Tapi buat gw Winnie The Pooh itu polos, tulus, apa adanya & setia kawan. Jadi Pooh itu adalah beruang madu yang tinggal di 100 Acre Wood bersama teman-temannya. Teman terdekat Pooh bernama Piglet (si babi pink yang penakut), teman lainnya ada Tiger (harimau lucu yang heboh suka loncat-loncat), Rabbit (kelinci abu-abu yang jadi petani wortel yang rajin dan pintar), Eeyore (keledai ungu yang dungu), Owl (si burung hantu yang baik & bijaksana), Roo (si kanguru kecil yang tak kalah polos) dan ibu Roo. Selain binatang-binatang itu, ada juga seorang anak kecil yang jadi sahabat mereka semua, namanya Christoper Robin.

Sampe sekarang gw masih suka ngumpulin berbagai pernak-pernik Winnie The Pooh yang udah ngga keitung banyaknya & macamnya. Tapi gw ngga pernah beli CD/DVD serialnya. Paling klo ditayangin di tv, gw masih suka nonton serialnya, itu juga klo sempat, walaupun isinya sebenarnya lebih cocok untuk balita, atau maksimal anak kelas 3 SD. Hahahahaha..

Temen-temen gw bilang, sebenernya gw lebih cocok menggemari karakter kartun Tazmanian Devil. Karena lebih sesuai ama karakter gw yang suka teriak-teriak, heboh dan aktif bergerak. Sementara Winnie The Pooh yang kalem, tenang dan polos itu berkebalikan dengan karakter gw. Hehehehe.. Dan sebagian teman gw lagi bilang klo kelakuan gw kayak anak kecil aja suka ngumpul-ngumpulin pernak-pernik kartun.

Klo kata gw, setiap orang kan punya kesukaan masing-masing, selama ngga saling senggol ya biarin ajalah. Kan lain orang lain selera. Soal kekanak-kanakan atau ngga, menurut gw semua orang punya sisi kekanak-kanakan dengan porsi masing-masing dalam menikmatinya. Lagian hidup jangan terlalu dituntut untuk terus-terusan serius, tar jadi cepat tua. Hehehehehe...

Tuesday, August 14, 2012

The Confession of a Shoe-holic




Saya adalah penggila sepatu. Saat ini saya punya 22 pasang sepatu berikut 5 pasang sandal yang tersimpan rapi di dalam kotak masing-masing. Modelnya rata-rata adalah model standar, tapi terdiri dari berbagai jenis, seperti wedges, sandal pesta, flat shoe, high heel, sport shoe, flat sandal, dan sneaker. Semuanya dari bahan dan warna yang berbeda.

Jika saya pergi berbelanja ke mall, maka saya akan lebih senang berputar-putar di dalam toko/counter yang menjual sepatu daripada bagian lainnya. Mungkin saya tidak ingin membeli salah satu dari sepatu-sepatu yang dipajang di sana, tapi hanya melihat-lihat dan mencoba-coba sepatu atau sandal tertentu sudah membuat saya merasa senang. Namun walaupun saya sangat menyukai sepatu, saya sebenarnya sangat selektif ketika akan membeli sepasang sepatu. Saya selalu mempertimbangkan bahan, model, tinggi, warna dan yang pasti harganya.

Mengapa saya sangat menyukai sepatu? Karena saya memiliki bentuk telapak kaki yang tidak begitu bagus. Sebab itulah saya menutupi kekurangan itu dan membuat telapak kaki saya terlihat lebih bagus dengan sepatu-sepatu. Untuk sandal pun, saya memilih sandal model tertentu yang bisa menutupi kekurangan kaki saya itu. Jadi sering kali saya harus gigit jari jika melihat sandal dengan model yang bagus di toko, namun jadi terlihat aneh jika dikenakan di kaki saya. Dan karena itulah saya lebih menyukai sepatu dibanding sandal, sehingga saya lebih banyak menggunakan sepatu daripada sandal ketika beraktivitas.

Ya, begitulah manusia, beda fisik, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan biasanya manusia memberi perhatian lebih ke bagian fisik yang merupakan kekurangan, agar terlihat indah. Asal saja caranya yang benar dan positif. Intinya, semua yang kita miliki adalah anugerah Sang Pencipta dan itu yang terbaik, tinggal bagaimana cara masing-masing kita untuk mensyukuri & membuatnya indah.

Monday, August 13, 2012

Indonesian Friendship



Tulisan ini terinspirasi dari pemberitaan soal SARA yang cukup ramai di media massa belakangan ini. Jujur saja, saya adalah orang yang tidak suka membahas soal SARA. Manusia memang diciptakan berbeda-beda, dan bagi saya perbedaan itulah yang mengindahkan kehidupan. Saya sendiri hidup dalam lingkungan yang sarat akan perbedaan dengan sekitar saya, jadi secara alami saya selalu belajar untuk menghargai setiap perbedaan yang saya temui. Sejak masih balita saya cenderung berteman dengan mereka yang berbeda dengan saya.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, saya bersuku Batak Toba. Dulu waktu umur saya belum mencapai lima tahun, saya berteman dekat dengan seorang teman bersuku Jawa, sebenarnya di sekitar rumah saya ada banyak teman lain yang sesuku dan seagama dengan saya, tapi entah kenapa saya senang sekali berteman dengan teman saya yang bernama Joko itu. Ketika masuk SD, saya banyak berteman dengan teman-teman keturunan Cina. Ketika itu saya memang tidak punya banyak pilihan dalam berteman di sekolah dan di rumah, karena hampir semua teman saya, baik di rumah maupun di sekolah adalah keturunan Cina, jadi mau tak mau saya harus menjalin pertemanan dengan mereka. Dan hal ini berlangsung hingga saya lulus dari bangku SLTP. Masuk ke bangku SMU, saya banyak menemui teman sesuku dan seagama dengan saya, tapi lagi-lagi entah kenapa, saya lebih akrab dengan mereka yang berbeda suku dan agamanya dengan saya. Dan sangat saya sukai dari hubungan pertemanan kami itu adalah kami saling mengingatkan untuk melakukan ibadah masing-masing.


Ketika melewati masa perkuliahan, saya menemui lingkungan yang lebih variatif. Di kampus terdapat berbagai mahasiswa dari berbagai suku di Republik ini. Kampus saya menerima mahasiswa dari setiap provinsi, jadi lengkap sekali dari Sabang sampai Merauke. Mereka semua memiliki cerita dan latar belakang masing-masing. Saya sendiri menjalin pertemanan yang cukup akrab dengan beberapa dari mereka, dan saya sangat menikmati pertemanan saya dengan mereka semua. Buat saya, menjalin hubungan dengan mereka bisa membuat saya berpikir dan memandang dari sisi yang berbeda. Karena bentukan latar belakang yang berbeda membuat pola pikir yang berbeda pula, dan saya menikmati saat-saat bisa bertukar pikiran dengan mereka.

Dan Indonesia dengan berbagai suku, agama dan ras ini akan terlihat dan terasa lebih indah jika masing-masing orang bisa menghargai perbedaan dan memandangnya dari sisi positif. Kalau semua orang sama adanya, maka hidup ini pasti akan terasa lebih hambar dan datar. Karena itu, jadilah satu, bukan menjadi sama.