Judulnya aku ambil dari sebuah novel karya Adhitya Mulya. Isi novel ini mengingatkan betapa aku bersyukur Tuhan mengaruniakan seorang bapak, yang aku sebut sebagai ayah, di dalam hidupku. Memang cuma 15 tahun ayah ada di depanku, tapi 15 tahun itu Tuhan cukupkan waktu bagi ayah untuk memberi aku (dan abangku dan adikku) bekal guna menjalani hidup kami ke depannya.
Ayah orang yang keras. Mungkin ini yang orang lain pikirkan tentang ayah, layaknya tipikal pria Batak kebanyakan di muka bumi ini. Bagiku, ayah tidak keras, tapi tegas. Banyak temanku di sekolah minggu dulu yang berpikir kalau di rumah ayahku pasti galak, karena mereka melihat ayah di gereja sebagai seorang pemimpin yang keras sekali kepada para penatua dan jemaat. Ayah hanya marah pada ketidakbenaran, ayah tidak segan menegur, siapapun itu yang berbuat salah. Ayah melakukan itu demi menjalankan amanat yang dipercayakan kepadanya, ayah hanya ingin semua orang bisa berubah menjadi lebih baik. Kepada kami keluarganya pun ayah akan marah jika kami berbuat salah. Tapi jika ayah meminta melakukan sesuatu, ayah mengatakannya dengan penuh kelembutan. Dan ketika aku menuruti kemauannya dan melakukan hal yang benar, ayah tidak akan marah, malah dia akan memeluk dan membelai rambutku.
Ayah meneladankan firman Tuhan yang ayah baca setiap hari kepada kami. Tuhan menghajar anak-Nya yang bersalah agar bisa hidup benar, tapi Tuhan juga adalah Pribadi yang penuh kasih dan ampunan.
Ayah meneladankan firman Tuhan yang ayah baca setiap hari kepada kami. Tuhan menghajar anak-Nya yang bersalah agar bisa hidup benar, tapi Tuhan juga adalah Pribadi yang penuh kasih dan ampunan.
Ayah tidak memanjakan anaknya. Sejak aku SD sampai SMA kelas 2, hampir tiap hari ayah mengantarku ke sekolah dan beberapa kali juga menjemput dari sekolah. Namun beberapa kali ayah memaksa kami (terutama aku, anak ayah yang paling manja) untuk berangkat sendiri ke sekolah, entah itu berjalan kaki, bersepeda atau naik angkutan umum. Bahkan ayah tidak peduli jika aku berontak padanya hanya karena tidak diantar ke sekolah. Kesannya seperti tidak sayang anak, tapi itu adalah cara ayah agar kami tidak manja. Dia seperti mengingatkan kami, kalau ayah tidak akan bisa terus-terusan mengantar kami ke sekolah. Dan betapa gamangnya aku ketika ayah pergi untuk selamanya, ngga ada lagi yang mengantarku ke sekolah setiap pagi. Aku pun harus pergi ke sekolah naik angkutan umum, hal yang aku tidak sukai, aku malas jalan kaki ke jalan raya, aku malas berebut angkutan umum dan aku malas duduk sempit-sempitan di dalam angkutan umum. Jika aku pikir-pikir, kenapa ayah tidak berhenti mengantar aku ke sekolah, mungkin karena dia juga ingin agar aku bisa benar-benar menikmati waktu bersamanya yang memang tidak cukup banyak.
Selama hidup, ayah berkali-kali mengatakan, jangan jadi anak yang memble, karena hidup tidak akan lunak padamu. Ya, ayah benar, hidup ke depan tidak menjadi lebih mudah, semua orang harus bisa bertahan atau tergilas. Agar bisa bertahan, maka kita harus jadi pribadi bermental tangguh.
Selama hidup, ayah berkali-kali mengatakan, jangan jadi anak yang memble, karena hidup tidak akan lunak padamu. Ya, ayah benar, hidup ke depan tidak menjadi lebih mudah, semua orang harus bisa bertahan atau tergilas. Agar bisa bertahan, maka kita harus jadi pribadi bermental tangguh.
Ayah orang yang kaku. Hidup yang ayah jalani tidaklah mudah dan tidak semua orang tahu itu. Berkali-kali ayah menceritakan kepada kami bagaimana ayah melalui masa kecilnya hingga dewasa. Dan ayah menuntut kami agar disiplin, serius tapi tetap menikmati hidup. Setiap hari kami harus bangun pagi lalu bersiap ke sekolah, sepulang sekolah harus segera ganti baju, makan lalu tidur siang, setelah itu baru boleh bermain, tapi juga harus membantu mama membersihkan rumah, lalu mandi sore, boleh menonton tv sebentar, lalu kami harus makan malam bersama di meja makan (di ruang makan dan tidak boleh sambil menonton tv), dilanjutkan ibadah keluarga (dan semua orang harus baca Alkitab), lalu harus belajar dan tidur paling lama jam 10 malam. Di hari Minggu kami harus ke gereja dengan pakaian yang rapi, ketika menghadap Tuhan tidak boleh main-main. Sesekali ayah juga mengajarkan filosofi hidup orang Batak, bagaimana menjalankan adat Batak, sejarah marga Batak dan tentunya belajar kosakata bahasa Batak juga. Tapi di waktu santai, ayah sering bercanda bersama kami dan melontarkan lelucon yang membuat kami tertawa hingga sakit perut, ayah juga senang bernyanyi bersama kami sambil bermain gitar. Dan ketika hari libur tiba, ayah sering mengajak kami sekeluarga berjalan-jalan ke luar kota.
Ya, totalitas itu perlu dalam aktivitas rutin sehari-hari dan di segala aspek hidup kita, pun ketika waktu bersantai tiba, sehingga kita bisa benar-benar memanfaatkan dan menikmati setiap waktu yang kita punya selama hidup. Dan entah siapa pun kita, kita harus mengutakan Sang Pencipta, kita tidak boleh melupakan keluarga kita dan jati diri kita.
Ayah itu ditakuti orang. Karena ayah penuh ketegasan, mungkin orang akan tidak berani main-main dengan ayah. Tapi di balik itu, ayah adalah pribadi yang hangat dan perhatian terhadap sekelilingnya. Ayah mengenal setiap jemaat di gereja dengan baik, ayah juga berhubungan baik dengan semua tetangga di sekitar rumah. Ayah senang menolong siapa pun yang butuh bantuannya. Tak heran, jika tetangga kami segan pada ayah walaupun kami adalah minoritas di daerah tempat tinggal kami. Di keluarga besar pun ayah jadi anak dan menantu kesayangan opung. Hingga sekarang orang masih hormat kepada ayah, mereka menghargai keberadaan kami karena mereka tahu seperti ayah yang mendidik kami. Ayah juga memperlakukan mama dengan sangat baik. Aku tidak pernah sekali pun melihat ayah berkata kasar atau membentak kepada mama. Ya, semua rumah tangga pasti ada masalah, tapi ayah dan mama tidak pernah memperlihatkan kalau mereka sedang menghadapi masalah di depan kami, mereka tak pernah sekali pun bertengkar di depan kami anak-anaknya.
Kehormatan itu harus dijaga. Berbuat baiklah kepada siapa pun, semua pasti ada balasannya. Harta warisan itu hanya berharga sesaat, tapi meninggalkan sebuah nama baik adalah sesuatu yang tak terhingga nilainya di dunia ini.
Ya, totalitas itu perlu dalam aktivitas rutin sehari-hari dan di segala aspek hidup kita, pun ketika waktu bersantai tiba, sehingga kita bisa benar-benar memanfaatkan dan menikmati setiap waktu yang kita punya selama hidup. Dan entah siapa pun kita, kita harus mengutakan Sang Pencipta, kita tidak boleh melupakan keluarga kita dan jati diri kita.
Ayah itu ditakuti orang. Karena ayah penuh ketegasan, mungkin orang akan tidak berani main-main dengan ayah. Tapi di balik itu, ayah adalah pribadi yang hangat dan perhatian terhadap sekelilingnya. Ayah mengenal setiap jemaat di gereja dengan baik, ayah juga berhubungan baik dengan semua tetangga di sekitar rumah. Ayah senang menolong siapa pun yang butuh bantuannya. Tak heran, jika tetangga kami segan pada ayah walaupun kami adalah minoritas di daerah tempat tinggal kami. Di keluarga besar pun ayah jadi anak dan menantu kesayangan opung. Hingga sekarang orang masih hormat kepada ayah, mereka menghargai keberadaan kami karena mereka tahu seperti ayah yang mendidik kami. Ayah juga memperlakukan mama dengan sangat baik. Aku tidak pernah sekali pun melihat ayah berkata kasar atau membentak kepada mama. Ya, semua rumah tangga pasti ada masalah, tapi ayah dan mama tidak pernah memperlihatkan kalau mereka sedang menghadapi masalah di depan kami, mereka tak pernah sekali pun bertengkar di depan kami anak-anaknya.
Kehormatan itu harus dijaga. Berbuat baiklah kepada siapa pun, semua pasti ada balasannya. Harta warisan itu hanya berharga sesaat, tapi meninggalkan sebuah nama baik adalah sesuatu yang tak terhingga nilainya di dunia ini.
Ayah suka menggurui. Mungkin karena waktunya memang singkat, jadi ayah sering sekali menasihati kami tentang apapun lewat apapun itu, bahkan dari hal kecil dalam keseharian kami. Berkali-kali ayah mengatakan "jadi orang jangan suka sok tau. orang yang sok tau ngga akan kemana-mana." Nasihat ini sering dikatakan ayah ketika kami melawan aturan. Dan ketika kami kebanyakan bengong dan melewatkan hal penting, ayah bilang "makanya selalu perhatikan lingkunganmu". Setelah kami cukup besar ayah sering mengatakan, "seumur hidup adalah proses belajar."
Dalam nasihat-nasihat itu, ayah sedang mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi pribadi yang rendah hati. Ayah ingin mengatakan jika kita hanya manusia biasa yang lemah dan ngga sempurna, makanya harus belajar. dan belajarnya juga dari sumber yang benar, karena itu otak kita harus diisi oleh sesuatu yang positif. Makanya rajinlah membaca buku yang benar dan pililah tontonan yang sehat. Kita bisa belajar dari apapun, bahkan dari hal kecil yang biasa dalam hidup. Dan karena hidup tidak adil, maka setiap manusia harus berhati-hati dan bijaksana.
Ayah pergi tiba-tiba. Ya, dia pergi tanpa sakit dan pertanda apapun. Memang ayahku tidak membuat rekaman dalam video berisi pesan yang ingin ayah sampaikan kepada anak-anaknya. Tapi selama hidup, ayah rajin sekali membuat foto setiap perjalanan dan aktivitas penting dalam hidup kami, kemudian menyimpannya dalam album foto dengan rapi. Ayah juga seorang penulis yang rapi, ayah punya buku harian berisi renungannya yang dia tulis dengan tulisan tangan yang sangat rapi (untuk ukuran pria, itu rapi sekali!), jadi siapa saja bisa membacanya dengan mudah. Ya, ayah menulis hampir setiap hari, ayah punya buku harian, dan hal pertama yang ayah tulis di bagian atas catatannya adalah hari dan tanggal ayah menulis.
Mungkin kesenanganku akan fotografi dan menulis blog seperti ini menurun dari ayah. Jadi hingga kini jika aku kembali ke rumah di Medan, aku masih bisa membaca semua tulisan foto dan melihat album foto yang ayah buat sebagai kenang-kenangan berisi pesan hidup yang berarti bagi kami sekeluarga.
Itulah warisan dari ayah yang tak ternilai. Dalam waktu yang tidak banyak, ayah menyiapkan semuanya sebagai pegangan anak-anaknya, sehingga sampai sekarang pun walau aku tidak bisa mendengar suaranya, tapi dalam hatiku semuanya pesannya masih hidup. Terima kasih Tuhan, aku mendapatkan warisan dari ayah yang tidak akan habis hingga kapan pun.
"don't take death take these, away from us
don't give death a chance"
~Adhitya Mulya
No comments:
Post a Comment